Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Nama : Dela Amara Munfaranlis
Nim : 12001109
Kelas: 4E
Prodi : Pendidikan Agama Islam(PAI)
Dosen : H Fahrul Razi,Drs.,M.Pd
: Firmasyah M.Pd
makul: Media Pembelajaran
Kisah Hijrah Mushab bin Umair menjadi luar biasa
Asaalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Baiklah disini saya akan menceritakan tentang “Kisah seoarang salah satu sahabatnya nabi yang bernama Mush’ab bin Umair.”
Pada di zaman nya ada seorang Pemuda
hijrah itu bernama Mush’ab bin Umair, merupakan salah satu sahabat nabi yang
paling utama. Ia seorang remaja Quraisy terkemuka, gagah dan tampan, penuh
dengan jiwa dan semangat kemudaan. Para
ahli sejarah melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga
kota Makkah yang mempunyai nama paling harum.”
Mush’ab lahir dan dibesarkan
dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungan serba berkecukupan. Mungkin tak
seorang pun di antara anak-anak muda Makkah yang beruntung dimanjakan oleh
kedua orang tuanya sebagaimana yang dialami Mush’ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang
serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis
Makkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat menjadi
tamsil dalam semangat kepahlawanan?
Suatu hari, anak muda ini
mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Makkah mengenai
Muhammad Al-Amin, yang mengatakan dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa
berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak umat beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa. Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama
pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari
gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di
rumah Arqam bin Abil Arqam. Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya,
pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah
SAW sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat
Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar. Baru saja
Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur’an mulai mengalir dari kalbu
Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di
hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat
Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya. Khunas binti Malik yakni
ibunda Mush’ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak
dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush’ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan
dikhawatirkannya selain ibunya sendiri. Bahkan walau seluruh penduduk Makkah
beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi
suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya,
tentulah Mush’ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi
Mush’ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil
keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang
dikehendaki Allah.
Demikianlah ia senantiasa
bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa
bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang
belum mengetahui berita keislamannya. Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang
tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran
di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan
seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam
secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti
Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita
yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu
dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan
hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah
untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan,
kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam
mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak
panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah
putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda
Mush’ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat
terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush’ab
tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah.
Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil
mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan
diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang
ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat
atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Pada Suatu hari ia tampil di
hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW.
Demi memandang Mush’ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata,
sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab
memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari
ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di
taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya
dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada
kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, “Dahulu aku lihat
Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang
tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya.”
Suatu saat Mush’ab dipilih
Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta
atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang
Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di
samping itu, ia juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah
sebagai peristiwa besar. Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih
banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan
kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah
menjatuhkan pilihannya kepada Mush’ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya
bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan
menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah. Mush’ab
memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati,
ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka
berduyun-duyun masuk Islam. Ketika tiba di Madinah pertama kali, ia mendapati
kaum Muslimin tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang
telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa bulan kemudian, meningkatlah jumlah
orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Mush’ab memahami tugas dengan
sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia
sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira
lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang
diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah duta
Rasulullah yang pertama itu telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya,
suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya.
Dalam Perang Uhud, Mush’ab bin
Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi
mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan
bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang
musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan
Rasulullah SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya
sendiri. Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda,
lalu menebas tangan Mush’ab hingga putus, sementara Mush’ab meneriakkan,
“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului
oleh beberapa Rasul.” Maka Mush’ab memegang bendera dengan tangan kirinya
sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga
putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal
lengan meraihnya ke dada sambil berucap, “Muhammad itu tiada lain hanyalah
seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.” Lalu orang
berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga
tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai
bintang dan mahkota para syuhada.
Rasulullah bersama para sahabat
datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para
syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah
dengan deras air matanya.
Tak sehelai pun kain untuk
menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya,
terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya,
terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tutupkanlah ke bagian
kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!” Kemudian sambil
memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah berkata,
“Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya
dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang
kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.”
Setelah melayangkan pandang, ke
arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di
atasnya, Rasulullah berseru, “Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di
hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!”
Kemudian sambil berpaling ke arah
sahabat yang masih hidup, Rasulullah bersabda, “Hai manusia, berziarahlah dan
berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai
nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada
mereka, pasti mereka akan membalasnya.”